Rabu, 20 Mei 2020

kekuatan dalam doa

Doa adalah bahasa indah dalam melangitkan asa. Lantunan khusus yang sering membuat jiwa terlena dalam kerinduan. Seolah-olah aku sangat dekat dengan Sang Pencipta. Menjadi sumber kekuatan dalam melepas segala beban yang selalu mengecewakan. Memendam duka yang kuasa diceritakan, tetapi lewat doa segala nya istimewa yang tak pernah ternodai. 
.
Doa pun adalah senjata yang paling kuat
paling utama semua hamba yang sering
meminta kepada-Nya. Sebuah cinta yang
sering terlatih gugup dalam menyampaikannya. Dengan doa aku bisa lega, aku bisa tenang. Sebab, doa adalah kekuatan tak bosan aku langitkan. 
.
Bukankah doa dapat merubah segalanya
InsyaAllah dengan keyakinan kita, pasti doa akan merubah segalanya. 
Jadi untuk apa kita ragu? Jangan sombong, jangan malas untuk tetap terus berdoa. Allah paling suka seorang hamba yang memanggil lirih namanya.
#Lailah_Saidah


Penulis: Siti Salwa
Rangkas, 20 Mei 2020


Selasa, 19 Mei 2020

Pembahasan Cerpen "Senyum Karyamin"

  Deskripsi:
Kumpulan cerita pendek ini berisi 13 cerpen Ahmad Tohari yang ditulis antara tahun 1976 dan 1986. Seperti dalam karya-karyanya terdahulu, dalam kumpulan ini pun Tohari menyajikan kehidupan pedesaan dan kehidupan orang-orang kecil yang lugu dan sederhana. Dan sebagaimana dikatakan dalam “Prakata”, kekuatan Tohari “terletak pada latar alam pedesaan yang sarat dengan dunia flora dan fauna”.

Selain itu, gaya bahasa Tohari “lugas, jernih, tapi juga sederhana, di samping kuatnya gaya bahasa metafora dan ironi”.

Dalam kumpulan cerpen ini, saya akan sedikit membahas cerita nya beserta unsur intrinsik dari salah satu cerpen, yaitu cerpen "Senyum Karyamin" seperti judul besar dalam sebuah buku tersebut.


   "Senyum Karyamin" karya Ahmad Tohari 

Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalananya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.

Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
“Bangsat!” teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.

“Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.

“Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya.”

“Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!".

Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu gagal mereka tangkap.

“Min!” teriak Sarji. 

“Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?”

Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang. Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.

“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?”

Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.

“Makan, Min?”

“Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya Min? aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
”Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
”Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”

”Iya Min, iya. Tetapi….”

Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar kan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. “Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang.”

Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanyta. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.
Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik bermotif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.
“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”

“Menghindar?”

“Ya, kamu memang mbeling, Min. di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kaupersulit.”
Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.

“Kamu menghina aku, Min?”

“Tidak, Pak. Sungguh tidak".

“Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”.

Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kampong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.

( Tohari, Ahmad, “Senyum Karyamin, Kumpulan Cerpen”, Gramedia, Juni 1989 )

ANALISIS UNSUR INTRINSIK

A. Tema:
1. Pengorbanan
2. Pantang meyerah

  Dalam tema tersebut sudah jelas, bahwa karyamin itu slalu merelakan pengorbanan nya, selalu pantang menyerah untuk melalui semua dalam sebuah perjuangan yang ia sedang memanggul di pundaknya. 

B. Alur
1. Alur Maju
a. Perkenalan
   Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalananya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna
Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.

b. Awal konflik
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
“Bangsat!” teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan.

c. Konflik
Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
“Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.
“Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya.”
“Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!”
Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.

d. Klimaks
Memang. Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.
“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?”
Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
“Makan, Min?”
“Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya Min? aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
”Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
”Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
”Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar kan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.

C. Penokohan
1. Karyamin
a. Pantang Menyerah

  Karyamin adalah, orang yang pantang menyerah. Hal ini terjadi ketika dua kalu tergelincir. Tetapi karyamin terus mencoba untuk bangkit, dan menyusun batu-batu yang jatuh dari keranjang nya.

“Pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya.” (paragraf 2)

b. Sabar
Karyamin adalah orang yang sabar. Hal ini terjadi ketika Karyamin ditertawakan oleh kawan-kawannya, tetapi Karyamin hanya tersenyum saja.
“Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir.” (paragraf 14)

2. Saidah
a. Baik
Saidah adalah orang yang baik. Hal ini terjadi ketika Saidah melihat Karyamin yang mukanya terlihat pucat karena kelaparan dan Saidah menawarkan makanan dagangannya kepada Karyamin.
“Makan, ya Min? aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?” (paragraf 22)

D. Latar
1. Tempat
a. Tepi sungai
“Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai.” (paragraf 10)
“Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai.” (paragraph 27)

b. Sungai
“Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin.” (paragraf 10).

c. Dibawah pohon
“Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.” (paragraf 15)

d. Di rumah
“Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya.” (paragraf 29)

e. Halaman rumah
“Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya.” (paragraf 31)

2. Suasana
a. Bersenang-senang
“Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.” (paragraf 6)
“Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai.” (paragraf 10)

b. Menyebalkan
“Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.” (paragraf 4)
“Bangsat!” teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan.” (paragraf 5)

3. Waktu
a. Pagi hari
“Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir.”
(paragraf 2)
“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?” (paragraf 16)

E. Sudut Pandang
Sudut pandang yang terdapat di dalam cerpen Senyum Karyamin adalah sudut pandang orang ketiga sebagai pengamat.

F. Kebahasaan majas, Ahmad Tohari menggunakan beberapa jenis majas, yaitu:

1. Majas Hiperbola.
“Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan” (paragraf 5)
2. Majas Personofikasi
“Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.” (paragraf 23)
3. Majas Perumpamaan
“Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah.” (paragraf 30)

G. Amanat
1. Jangan besenang-senang diatas kesulitan orang lain.
2. Jangan mudah menyerah dalam kesulitan apapun itu. 
3. Apapun rintangan yang dialami tetap bersabarlah. 

4. Tersenyum ketika dalam kesusahan.

  • Nilai Moral

            - Tokoh Karyamin tetap tersenyum ketika dilanda kesusahan.
            - Karyamin tetap bersabar dalam menghadapi masalah.

  • Nilai Sosial 

            - Saidah peduli kepada Karyamin disaat ia kelaparan.
            - Kepedulian, Karyamin tak mau menabah utangnya karena takut  membuat Saidah susah.



Penulis: Siti Salwa 
Rangkas, 20 Mei 2020

Curahan seorang muslim

CURHATAN RAMADHAN...

"AKU harus pergi"
begitu kata Ramadhan. "Jauh dan sangat lama. Syawal akan tiba. Salam dan terima kasihku bagi orang mu'min yang menyambutku dengan suka cita dan melepasku dengan derai air mata"...
Kelak kalian akan ku sambut di syurga dari pintu "ARROYYAN'". 

Selamat meraih pahala terbaik di detik akhir Ramadhan. Karena tidak ada jaminan bagi kita untuk bertemu dengan Ramadhan yang akan datang...
Selamat datang pula bulan yang Fitrah ini, yaitu bulan syawal yang di nantikan umat muslim untuk saling bermaaf-maafan, di bulan yang lahir dan batin.

Lebaran akan tiba, dan Ramadhan pun akan meninggalkan kita... 


Penulis: Siti Salwa
Rangkas, 19 Mei 2020

Senin, 18 Mei 2020

Tersayang

Tersayang
...
Bagaimana kini kabarmu? 
Semoga kamu baik-baik saja yah... 

Lapisan-lapisan perasaanmu bagaiman? 
Semoga membaik juga yah
...
Tunggu sebentar!! 
...
Benar kah kamu baik-baik saja kan? 
Kamu baik-baik yah temanku tersayang...
Perhatikan jam tidurmu dan istirahatmu jangan terlalu berlebihan 

Jangan terlalu trluka sayangku
Jangan pula sedih dengan berlebihan, nanti akan membuat hatimu sakit dan trluka...

Tunggu sebentar!! 
Apakah keraguanmu masih banyak kah? 
Hingga kamu tidak mampu dan sulit untuk memilih nya...

Tolong!!  Hilangkan lah dalam keraguanmu itu.. 
Tegaslah dalam diri sendiri
...
Jangan menyalahkan dirimu sendiri, dan jangan pernah mengatakan bahwa kamu tidak bisa mengikhlaskan nya... 

Kamu bisa!! 
Dan kamu tidak lemah!!
Jangan pernah menjadi orang yang lemah, karna akan membuatmu semakin lemah dan tak berdaya

Berproseslah
Perbaiki dirimu

Untuk hatimu...
Tegarlah!!!

Penulis :Siti Salwa 
Rangkas, 18 mei 2020





Minggu, 17 Mei 2020

Jurnalistik

Apakah kalian tau apa itu jurnalistik?
Apakah kalian baru mendengar kata-kata itu? Menurut saya sudah tidak aneh lagi dalam telinga... Yang saya tau dari kata jurnalistik itu? Tentang menulis... Benar kah tentang menulis? Mari kita simak bersama-sama dan membahasnya dengan secara detail... 

Dari mana datangnya jurnalistik itu? 
  Jurnalistik datang dari hakikat bahasa. Apa saja dalam hakikat bahasa itu? Ada
1. Bahasa itu suatu sistem
2. Bahasa itu suatu ujara 
3. Bahasa itu unik/khas
4. Bahasa itu berubah-rubah
5. Bahasa itu alat komunikasi 
Dan masih banyak lagi dalam hakikat bahasa tersebut. 
Coba tebak, mana yang termasuk kedalam jurnalistik? Menurut saya sih semua nya pun bisa termasuk, akan tetapi lebih penting nya jurnalistik itu masuk kedalam bahasa adalah suatu alat komunikasi. Mengapa begitu? Karena, alat komunikasi bahan suatu pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih. Dengan cara yang cepat, sehingga pesan dapat tersampaikan apa yang dimaksud dapat di fahami. 

Julias Caeser pada zaman Romawi Kuno (60SM) yang memulai membiasakan berkomunikasi dengan massa (rakyatnya).
Julia Caeser selalu menulis berita harian tentang kebijakan-kebijakan atau pengumuman-pengumuman yang di tulis pada sebuah papan.

Papan itu disebut nya sebagai "ACTA DIURNI" 
ACTA: Sebagai rangkaian kata-kata 
DIURNI: Hari ini
Jadi, Acta Diurni adalah kata-kata atau pengumuman-pengumuman hari ini. Acta Diurna diyakini sebagai produk jurnalistik pertama sekaligus pers, media massa, atau suratkabar/koran pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.

Dari kata diurna muncul kata du jour (Prancis) yang berarti “hari ” dan journal (Inggris) yang artinya laporan, lalu berkembang menjadi journalism atau journalistic.

Dalam bahasa Inggris, journalist artinya orang yang membuat atau menyampaikan laporan.

Pada perkembangan berikutnya, kata "Diurni" berubah menjadi kata "Jurnal"
Jurnal artinya: 1. Catatan Harian
                          2. Berita Harian 
                          3. Surat Kabar Harian 
Oleh sebab itu, seni tentang membuat 'catatan harian', 'berita harian, 'dan surat kabar harian' maka disebut "Jurnalistik".

Pengertian Jurnalistik 
   Secara bahasa (Indonesia), jurnalistik adalah hal yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran dan seni kejuruan yang bersangkutan dengan pemberitaan dan persuratkabaran (KBBI).

Journalisme (journalism) diartikan sebagai “the activity or profession of writing for newspapers, magazines, or news websites or preparing news to be broadcast.” (aktivitas atau profesi penulisan untuk suratkabar, majalah, atau situs web berita atau menyiapkan berita untuk disiarkan). 

Dalam kamus bahasa Inggris, jurnalistik adalah “The collection and editing of news for presentation through the media;  writing designed for publication in a newspaper or magazine” (Merriam Webster).

Kata kunci dalam pengertian jurnalistik adalah berita dan penyebarluasan (publikasi).

Jurnalistik adalah pengumpulan bahan berita (peliputan), pelaporan peristiwa (reporting), penulisan berita (writing), penyuntingan naskah berita (editing), dan penyajian atau penyebarluasan berita (publishing/broadcasting) melalui media.

Definisi jurnalistik di atas seperti dikemukakan Roland E. Wolseley dalam buku Understanding Magazines (1969): jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada suratkabar, majalah, dan disiarkan.

Dalam pengertian ini masih banyak dari berbagai para ahli, akan tetapi saya akan kasih satu pendapat dari para ahli tersebut.

– Jurnalistik adalah teknik dalam mengelola berita, mulai dari mendapatkan bahan hingga menyebarkannya kepada masyarakat secara luas. (Onong U. Effendi, Ilmu, Teoiri dan Filsafat Komunikasi,1993).

Jurnalistik itu harus membutuhkan Proses, Teknik, dan Ilmu. Sebagai berikut:

Saya biasa mengartikan jurnalistik sebagai proses, teknik, dan ilmu peliputan, penulisan, dan penyebarluasan informasi aktual (berita) melalui media massa.

  • Proses – “aktivitas” peliputan, penulisan, penyebarluasan info aktual melalui media.
  • Teknik  – “keahlian” , reporting and writing, keahlian atau keterampilan meliput, menulis, dan menyajikan berita (skills)
  • Ilmu – “bidang kajian”, ilmu komunikasi massa. Jurnalistik adalah kajian tentang komunikasi melalui media massa.
Adapun Jenis-jenis dalam Jurnalistik pun terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

Berdasarkan media yang digunakan untuk publikasi atau penyebarluasan informasi, jurnalistik dibagi menjadi tiga jenis:

  • Jurnalistik Cetak (printed journalism) — yaitu proses jurnalistik di media cerak (printed media) koran/suratkabar, majalah, tabloid.
  • Jurnalistik Elektronik (electronic journalism) atau Jurnalistik Penyiaran (Broadcast Journalism) — yaitu proses jurnalistik di media radio, televisi, dan film.
  • Jurnalistik Online (online journalism) atau Jurnalistik Daring (dalam jaringan — yaitu penyebarluasan informasi melalui situs web berita atau portal berita (media internet, media online, media siber).
Media Jurnalistik, adapun jenis media-media massa:
  1. Media Cetak (Printed Media)
  2. Media Elektronik (Electronik Media)
  3. Media Siber (Cyber Media)

Hasil proses jurnalistik atau karya jurnalistik dipublikasikan melalui media massa yang terbagi dalam tiga jenis.

Media cetak terdiri dari suratkabar (koran, terbit harian), majalah, dan tabloid.

Media Elektronik terdiri dari radio siaran, televisi, dan film.

Pengertian Jurnalis/Wartawan

    Pelaku jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan.

KBBI menyebutkan, wartawan adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Wartawan disebut juga juru warta atau jurnalis.

  • Jurnalis/Wartawan adalah orang yang melakukan aktivitas jurnalistik secara rutin (UU No. 40/1999 tentang Pers)
  • Inggris: Journalist, Reporter, Editor, Paper Man, News Man
Kwalifikasi Wartawan 
  • Menaati Kode Etik (Codes of Conduct)
  • Menguasai Bidang Liputan (Beat)
  • Menguasai Teknik Jurnalistik (J-Skills)

Wartawan adalah orang yang bekerja di sebuah media massa dengan melakukan aktivitas jurnalistik (peliputan dan penulisan berita) secara rutin, menaati kode etik, menguasai tema liputannya, dan menguasai teknik jurnalistik terutama menulis berita dan wawancara.

Bahasa Jurnalistik 

Bahasa Jurnalistik –disebut juga bahasa media, bahasa pers, bahasa koran, atau bahasa wartawan– adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita dengan karakteristik singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik.

Pakar bahasa Indonesia Jus Badudu menyatakan, bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. 

Kewartawanan atau jurnalisme berasal dari kata journal yang mempunyai arti catatan harian atau mengenai kejadian sehari-hari. Dalam pemaknaan lain, journal dapat pula diartikan sebagai surat kabar. Journal berasal dari istilah bahasa Latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. 



Penulis: Siti Salwa












Rabu, 13 Mei 2020

Perbedaan antara rasa cinta dan suka

Apakah dalam perbedaan itu memiliki arti yang sama? Hmm... Saya akan memberitahukan salah satu di antara kalian, mana yang hanya sekedar suka dan rasa cinta?  Dan kalian jangan salah dalam menganalisis perasaan yang sedang kalian rasakan. Belum tentu perasaan yang kalian anggap cinta itu artinya kalian sedang jatuh cinta pada seseorang. Karena bisa jadi perasaan yang kalian rasakan hanya sebatas suka saja.

1. Ketika kalian jatuh cinta, maka pasanganmu bakal terlihat menarik dalam kondisi apapun itu. Dibanding dengan saat sebatas suka, dia hanya rupawan di moment tertentu saja. 
Kalian coba fahami dalam judul besar di atas!! Ketika kalian mencintai seseorang, dia bakal terlihat sempurna di depanmu. Meskipun parasnya biasa saja, namun dia adalah wanita tercantik atau pria tertampan yang pernah ada. Walaupun dia belum mandi atau tidak memakai make up, dia bakal tetap istimewa. Berbeda ketika kamu suka dengan seseorang. Orang yang kamu suka itu hanya terlihat rupawan di momen tertentu saja. Misalnya ketika dia sudah berdandan atau sedang tampil dalam kondisi terbaiknya. 

2. Saat jatuh hati apapun tentang dirinya selalu menarik buat mu, ketika merasa suka kamu hanya menarik kelebihan nya saja. 
Kamu bakal merasa tertarik dengan hal yang berkaitan tentang dirinya, apapun itu. Rasanya semua hal yang terjadi dalam hidupnya itu istimewa dan selalu membuatmu terpesona. Hal ini bakal berbeda ketika kalian suka kepada nya . Kalian hanya akan tertarik pada kelebihannya saja atau bahkan fisik luarnya. Selain itu kalian gak bakal tertarik sama sekali.

3. Cinta justru membuatmu ingin selalu mendampingi nya karena kelemahan nya, jika yang kalian rasakan adalah hanya sekedar suka maka kalian akan merasakan jengah begitu tau rasa sisi buruk nya. 
Meskipun kalian tahu kelemahannya justru gak bakal merasa risih atau jengah. Justru kelemahannya yang membuatmu ingin terus mendampinginya. Jika ini yang kalian rasakan maka kalian benar-benar cinta dengan orang tersebut. Berbeda 180 derajat ketika kalian hanya suka pada seseorang. Kalian bakal langsung malas dan ingin menjauh ketika melihat sisi buruknya. 

4. Cinta berarti kebahagiaan nya yang paliang utama dalam sebuah hubungan, dibanding kan dengan saat suka dengan seseorang, maka kalian hanya memikirkan dirimu sendiri.
Saat jatuh cinta dengan seseorang, kalian berjanji pada diri sendiri untuk membuat orang yang kalian cintai itu merasa bahagia. Dia adalah prioritas, apapun rela kalian lakukan asal dia bisa tertawa dan nyaman saat bersamamu. Beda dengan hanya sekedar rasa suka, kalian hanya memikirkan dirimu sendiri atau mementingkan dirimu sendiri. 

5. Jatuh cinta membuatmu mau berjuang untuk dia. Dan ketika kalian hanya sekedar suka, kalian hanya sebatas ngomong saja tanpa ada bukti.
Perjuangan nyata bakal dilakukan ketika kalian benar-benar mencintai seseorang. Kalian bakal berjuang untuk mendapatkan hatinya hingga berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya bahagia. Perbedaan bakal kalian rasakan ketika kalian hanya sebatas suka pada orang itu. Kalian tidak melakukan upaya apapun untuk mendapatkan hatinya atau berusaha membuatnya bahagia. Semuanya hanya sebatas kata-kata atau imajinasi tanpa ada tindakan nyata.

6. Ketika kalian mencintai seseorang, kalian tidak mengharapkan balasan dari dia. Beda dengan saat suka dengan seseorang, kalian hanya menunggu atau mengharapkan balasan tersebut.
Saat kalian jatuh cinta, kalian bakal melakukan segalanya tulus dari hati yang terdalam. Pasalnya, misimu hanya satu, yaitu membuat orang yang kalian cintai itu bahagia. Berbeda ketika hanya perasaan suka yang dirasakan. Kalian masih menghitung untung dan rugi yang kalian dapatkan. Kalian tidak maksimal dalam memberi, karena kalian masih memikirkan apa yang bakal kalian terima sebagai timbal baliknya.
----
Itulah sedikit perbedaan antara rasa cinta dan suka...
Perbedaan ini sungguh menarik bagi saya. Karna semua orang sudah menempati di antara keduanya, betulkah? Ya pasti nya donk... Sudah tau kah perbedaan nya, antara rasa cinta dan suka? Jadi, jangan salah menempatkan nya yah... 

Penulis: Siti Salwa
Rangkas, 14 Mei 2020

Penikmat Senja

Ada kisah dengan salah satu orang ini... Entah kisah apa yang akan di bawakan nya? Maka, saya akan membuat kisah seseorang yang sedang menikmati senja.

  Di sore hari, dia yang sedang menikmati senja. Dia slalu meratapi senja tersebut, dia tidak sendiri melainkan dia berdua bersama teman dekat nya, bisa disebutlah sahabat. Mereka selalu bersama-sama, mereka tak pernah malu dengan penampilan mereka, mereka pun selalu bahagia, selalu ceria, dan suka duka mereka lalui bersama. Aku sedikit bertanya kepada nya "Kamu tidak malu berteman denganku?" temanku menjawab "Ngapain harus malu, kalau malu sama saja aku ngapain berteman denganmu..." 
"Hmmm... Benar juga sih" ujarku

Aku sangat salut sama mereka, yang kemana-mana selalu berbarengan, sampai tidur pun kita pernah berbarengan... Sangat lucu sekali, jika aku harus menceritakan semua nya... Hahahhh (aku pun tertawa)
"Eh... Bagaimana hubunganmu dengan si dia itu?" ujar temanku
"Hmm... A-alhamdulillah baik... Sampai-sampai jawabanku pun masih terbata-bata dan meragukan. Padahal, memang hubungan ku sudah tak kayak dulu lagi. 

Sambil menikmati senja nya di sore hari. Dan aku pun mengalihkan pembicaraan atau obrolan yang sedang kita obrolkan. 
"Ternyata... Melihat senja di sore hari itu, sungguh indah untuk di pandang. Seperti... Aku memandang dia. 'Ujarku'  dia tertawa, mendengar omonganku yang barusan ku omongankan... ( hahahhah) lalu aku pun bertanya kepada dia. "Bagaimana juga hubungan kamu dengannya?" dia menjawab "Alhamdulillah, aku baik-baik saja dengannya" (sambil tersenyum bahagia)

Tiba-tiba... Aku melamunkan, sambil memikirkan seseorang yang ada pikiranku saat ini. Dan dia teman ku menyenggolku yang sedang asyik menghayal tentangnya. 
"Hay kamu kenapa, senyum-senyum sendiri?" ujar temanku. Aku berkata sambil malu-malu kucing "Aku tidak apa-apa, heheh... " dalam hati kecilku. "Aku pun ingin seperti kalian berdua, yang selalu bahagia, selalu... Ya begitu lah, persepsi orang berbeda-beda"

Hari sudah semakin gelap, dan senja pun sudah semakin ingin menutupi awan tersebut. Mereka br2 lalu pergi dan meninggal kan tempat yang sudah di duduki oleh nya. 

Penulis :Siti Salwa 
Rangkas, 13 Mei 2020


Selasa, 12 Mei 2020

Bidang Sastra

Saya telah membuat blog pribadi saya sendiri yaitu di bidang kesastraan. Sastra itu merupakan suatu karya dalam tulisan atau bacaan yang termasuk kedalam bidang sastra. Seperti cerpen, novel, puisi dan lain sebagainya masih banyak lagi yang mengenai dengan kata sastra. 
Cara supaya kita ingin mempunyai karya sendiri, maka kita cukup membuat karya tersebut. Akan tetapi alangkah baiknya, kita harus banyakin terlebih dahulu dalam membaca karya sastra lain nya. 

Dalam sastra pun juga terdapat gimana cara penikmat, dan pendengar buat para sastra.

Amanat saya: banyak-banyakin dalam membuat karya sastra sebagai sejarah kita di suatu saat nanti. Berkaryalah dengan yang kau sukai apapun itu, tulisan maupun bacaan. 
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis (berkarya), ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis (berkarya) adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer –

Senin, 11 Mei 2020

Tentang Perempuan

Perempuan tuh ibaratkan seperti bunga...
 Coba kalian lihat baik-baik bunga ini, maka akan mekar dengan sendirinya dan dengan di rawat nya baik-baik. Jika bunga ini layu, maka bunga ini tidak akan bisa mekar kembali... Bisa saja mekar, akan tetapi tidak akan bisa semekar yang pertama kita rawat. Jadi, tidak jauh beda dengan perempuan. Jika hati perempuan telah hancur, maka apa yang bisa kalian rapihkan kembali?? Coba deh kalian pecahkan salah satu kaca, apa masih bisa di rapihkan? Bisa saja kita rapihkan... Akan tetapi, tidak akan bisa seperti kaca yang seutuhnya. Maka, jika perempuan itu telah hancur hati nya, bisa kita perbaiki. Akan tetapi perempuan tidak akan bisa seperti yang kau pertama lihat... 
--
Rawat lah bunga itu, jngan biarkan dia layu...
Jaga bunga itu dengan sebaik-baik mungkin...
Rawat pula perempuan itu, selagi bersamamu... 
Jaga perempuan dan hormati perempuan...
Jangan biarkan hati dia berkeping-keping hancur akan perbuatan mu...
-
Hati perempuan lemah, dia adalah tulang rusuk yang mampu kau luruskan. Dan berhati-hati lah dalam meluruskan, jika di paksa dia akan patah. Maka akan seperti akar yang patah berkeping-keping...


Penulis: Siti Salwa
Rangkas, 12 Mei 2020

Minggu, 10 Mei 2020

tentangku, tentangmu dan tentang kita

Untuk kamu, yang sempat hadir. 
Apa kabar? Sudah lama kita tak bersapa. Jangankan bersapa, saling mengenal pun sudah tidak. Aku maklumi itu semua. Aku menghargai kehidupanmu, dan kau? Entahlah masih peduli dengan hidupku atau tidak? 
Mungkin kamu akan bertanya, kenapa aku menulis ini semua? Jika kau mengira, karena aku ingin mencuri perhatian mu tentu tidak!!
Untuk apa? Lalu jika kau mengira, aku ingin mendramatisir keadaan itupun tidak. Sama sekali tidak...!!
Aku menulis semua ini hanya karena rindu. Tak pernahkah kau merasakannya juga? Aku harap kau sempat merindukanku walau hanya semalam. Setidaknya kau mengingat bagaimana aku tertawa lalu menangis. Setidaknya kau mengingat bagaimana susahnya berusaha dan mudahnya menyerah. 
-
Cinta kita hanyalah cinta monyet. Cinta yang tumbuh lewat media sosial. Cinta yang terus tumbuh hanya karena memandang dari jauh. Cinta yang terus tumbuh ketika kita bertukar kabar lewat handphone. Cinta yang terus tumbuh karena pipiku merona setiap kali mendengar namamu. Manis. Aku masih bisa merasakannya walaupun hanya sedikit mengingatnya. Aku masih ingat betapa lucunya saat pertama kali aku bertemu denganmu. Kita terlihat canggung, lalu saling tersenyum sesudahnya... 
Kau tidak tahu, seberapa banyak aku tersenyum saat itu...
Aku tidak peduli, apakah aku cinta pertama mu atau bukan?
Aku menyimpan memori dalam hidupmu atau tidak?
Yang aku tau aku merasakannya. Cukup aku. Kau juga bukan kekasih pertamaku atau kedua tapi percayalah kau membuatku mengenal banyak hal untuk pertama kalinya. Kau membuat aku belajar untuk pertama kalinya. 
Kau orang pertama yang membuatku merasa berharga dan merasa dihargai. Kau membuat aku merasa bahwa aku adalah seseorang yang patut diperjuangkan. Bukan orang yang selalu menunggu, menanti bahkan meminta.
Untuk kamu, yang sempat hadir.
-
Maaf aku sempat membuatmu muak dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Yang sering mengeluh, yang sering berdrama dengan segala masalah. Kau selalu mengingatkanku. Dan lagi, aku terlambat menyadarinya.
Aku tau aku salah, tapi siapa yang peduli saat itu yang aku tau hanya cinta itu menyakitkan ketika kamu pergi. Itu saja, bodoh? Iya... sangat bodoh. Kadang aku pun hanya tertawa bila mengingatnya. Pelajaran kita amat sangat lucu ternyata...
Aku ingat, kita memulai dengan cara yang salah. Entah aku, atau kamu. Tapi aku tak ingin menyalahkan siapapun, karena untuk masalah perasaan semua orang akan merasa benar. Meskipun penuh kebohongan dan ketidakpedulian. Cukup aku saja yang tau maksud semuanya.
Perjalanan memang kadang membuat aku terbang lalu jatuh. Dan terimakasih, kamu telah menjadi perjalananku. Hidup kadang terasa manis seperti gulali yang aku beli di taman hiburan, tapi ada masanya terasa pahit sama seperti aku yang tidak sengaja menyesap ampas kopi. Dan kamu telah menjadi keduanya disaat yang bersamaan. Sekali lagi, terimakasih. Untuk pernah hadir lalu pergi dan untuk sempat memulai lalu mengakhiri.
Untuk kamu, yang sempat hadir. 
-
Aku tadi bilang bahwa aku merindukanmu, tapi setelah aku menulis ini semua aku tak lagi merasakannya. Aku sedang tersenyum, percayalah aku bahagia tak perlu aku merindukanmu lagi. Tugasku sudah cukup. Tugasku kini pergi lalu menghilang. Untuk tak saling mengenal akan lebih baik... 
Mungkin? Hahaha aku tau hanya becanda aku tidak kekanak-kanakan lagi aku hanya berharap aku dan kamu baik-baik saja. Kita bahagia bersama, dijalan yang berbeda. "ujarku"

Dan harapan terakhirku adalah suatu saat aku dapat bertemu kamu, dengan senyuman. Tak ada lagi kecanggungan lalu berbincang dan aku akan mengenalkan seseorang kepadamu, dan sebaliknya. Iya, seseorang yang aku kenalkan adalah orang yang membuatku tersenyum setelah kamu membuatku menangis. Dan kamu, mengenalkan seseorang yang kamu ajak tersenyum ketika aku sedang menangis. 
-
Untuk kamu, yang sempat hadir.
Aku merasa cukup, dan aku pergi.

Penulis: Salwsiti21
Rangkas, 11 mei 2020

kesederhanaan seseorang

Sesederhana kah aku ini yang slalu mencintai mu?
Sesederhana pun juga aku ingin membuat mu bahagia?
Sesederhana pun juga aku dalam berpakaian?
Lantas... Apa yang telah membuatmu jauh dariku? 
Apa dari segi kekuranganku? 
Jikalau kau hanya memandangku dari segi itu
Maaf... Tuhan menciptakan manusia dari segala kekurangan dan kelebihan nya

Bukankah kau memiliki banyak kelebihan? 
Bisakah, kau untuk menyempurkan dalam kehidupan ku ini? 
Bahwa tuhan itu tidak memandang kita dari kesempurnaan dan kekurangan

Ya inilah kesederhanaan ku tanpa kau lihat kekurangan dalam diriku

Rangkas, 10 mei 2020